- Details
-
Written by Karmel Stroke Centre
-
Hits: 21472
Dysphagia adalah gejala tidak bisa menelan makanan atau minuman yang banyak dialami penderita stroke. Namun kini dengan kehadiran alat terapi elektrik, kemampuan menelan penderita stroke bisa normal kembali hingga 90 persen.
Paul Spence adalah salah satu dari penderita stroke yang mengalami dysphagia. Paul sedang mengendarai motornya ketika tiba-tiba stroke menyerang dirinya. Semuanya diawali dengan gejala sakit kepala dan rasa sakit di belakang mata kirinya. Stroke telah menyebabkan bagian kiri tubuhnya tidak berfungsi.
Beruntung dengan fisioterapi, ia dapat berjalan lagi dan kembali normal, kecuali bagian tenggorokan, lidah dan pipinya. Hal itu menyebabkan ia menderita dysphagia, yaitu gejala tidak dapat menelan. Dysphagia juga bisa disebabkan karena sakit kepala atau penyakit saraf seperti Parkinson.
Paul terpaksa mendapatkan makanan cair yang dihubungkan ke tubuhnya (hidung atau perut) melalui selang infus. Hal itu membuat Paul depresi karena tidak bisa menikmati makanan secara utuh. "Rasanya seperti di neraka tidak bisa makan dan minum dengan normal," ujar Paul seperti dlansir Dailymail, Selasa (15/12/2009).
Tapi 10 bulan setelah menderita stroke, Paul bisa menikmati makanan melalui tenggorokannya lagi. Itu semua berkat alat inovasi yang dirancang khusus bagi penderita stroke yang ingin bisa menelan lagi.
Paul adalah pasien stroke pertama di Inggris yang merasakan manfaat alat itu. "Kemampuan menelan saya kembali normal hingga 90 persen. Sangat mengagumkan karena sebelumnya saya tidak bisa menelan sama sekali," kata Paul.
Alat terapi yang dikenal dengan VitalStim itu menggunakan stimulasi elektrik yang akan membantu otot-otot tenggorokan untuk bisa berkontraksi dan relaksasi secara normal lagi. Keberhasilan alat tersebut benar-benar membantu penderita stroke yang tidak bisa menelan.
Paul mulai terapi dengan alat itu di Rowley Hall Hospital, Stafford sejak Juli 2009. "Rasanya tidak sakit sama sekali, hanya seperti ada yang menggelitik saja di tenggorokan," kata Paul.
Dalam empat kali terapi, Paul sudah bisa minum air dan pada terapi kelima ia sudah bisa menelan makanan lembut seperti yoghurt. Terapi ke-12 Paul sudah bisa menelan buah. Dan akhirnya setelah sebulan lebih dengan terapi sejam dalam sehari, ia bisa makan dan minum dengan normal lagi.
Sayangnya terapi dengan alat tersebut tergolong mahal, yaitu sekitar 250 poundsterling atau sekitar Rp 3.750.000 per sesinya (kurs 15.000 GBP). Total pengeluaran yang harus dibayar Paul adalah sekitar 6.000 poundsterling atau sekitar Rp 90.000.000. dikutip dari detik.com
Kini di tempat kami juga melayani terapi elektrik dysphagia dengan harga yang terjangkau, silahkan datang ke tempat kami.